Mahkamah Konstitusi Cabut Larangan Kampanye Pilkada di Kampus, Dua Mahasiswa Berhasil Ubah Aturan

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk mengabulkan gugatan yang diajukan oleh dua mahasiswa Universitas Indonesia, Sandy Yudha Pratama Hulu dan Stefanie Gloria. Mereka menggugat Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang melarang kampanye Pilkada di kampus dan tempat pendidikan.

Keduanya merasa bahwa larangan tersebut menghalangi akses mereka untuk mendengarkan dan mengkritisi gagasan-gagasan para calon pemimpin secara langsung di lingkungan akademik mereka. Sandy, mahasiswa semester 6, dan Stefanie, mahasiswa semester 4, memilih untuk mengajukan gugatan secara langsung di MK tanpa didampingi kuasa hukum untuk memperjuangkan hak konstitusional mereka sebagai pemilih pemula dalam Pilkada 2024.

Dalam sidang yang hanya berlangsung dua kali, MK membawa permohonan mereka langsung ke rapat pleno dan membuat keputusan. Pada tanggal 20 Agustus, Ketua MK Suhartoyo menyatakan, “Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya,” dan menambahkan bahwa frasa “tempat pendidikan” dalam Pasal 69 huruf i bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, selama tidak diartikan sebagai dikecualikan bagi perguruan tinggi yang mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi atau sebutan lain dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.

Dalam pertimbangannya, MK menekankan bahwa pemilu tidak hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden, tetapi juga kepala daerah, dan harus dimaknai termasuk di dalamnya penyelenggaraan kampanye. Hakim Konstitusi Guntur Hamzah mengatakan, “Apabila dibaca secara saksama, pengaturan larangan kampanye pada masa kampanye tersebut, terdapat kesamaan substansi antara UU 1/2015 dan UU 7/2017 terkait larangan menggunakan tempat pendidikan.” Namun, Mahkamah telah mengecualikan larangan bagi tempat pendidikan dalam konteks UU 7/2017.

Pertimbangan hukum dari MK dalam dua putusan ini menegaskan bahwa pengecualian terhadap larangan kampanye di perguruan tinggi bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada civitas akademika untuk mendalami visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan oleh masing-masing calon, dengan memberikan kesempatan yang sama kepada semua calon. Hal ini dianggap penting untuk mematangkan berpolitik bagi pemilih pemula dan kritis yang berada di kampus.

MK juga menambahkan bahwa norma yang bertentangan seharusnya diberikan makna yang sama agar tidak merusak kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, mengingat sistem hukum pemilu didasarkan pada konstruksi hukum yang sama.

Exit mobile version