Membalikkan Peran: Dewan Pers dari Fasilitator ke Regulator

Suatu ketika yang tak terlupakan, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dengan tegas mempertegas peran Dewan Pers sebagai penyelenggara dan bukan sebagai penentu aturan atau regulator. Pesan ini disampaikan oleh kepala pemerintahan kita saat menghadapi Uji Materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, pasal 15 ayat (2) huruf f dan ayat (5) di Mahkamah Konstitusi tahun lalu.

Mahkamah Konstitusi mengadopsi pernyataan Presiden sebagai pijakan hukum dalam memutus kasus Nomor 38/PUU-XIX/2021.

Namun, sikap yang dulu ditekankan oleh Presiden Jokowi sebagai pemerintah, menjadi pembalikan total ketika beliau menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2024 Tentang Tanggungjawab Perusahaan Platform Digital Untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas.

Melalui Perpres ini, Dewan Pers ditempatkan sebagai entitas regulator, melanggar esensi UU Pers yang memposisikan Dewan Pers sebagai lembaga independen. Pemerintah tampaknya berlebihan dalam mengatur pers dengan menaruh Dewan Pers sebagai alat pemerintahan, memberikan otoritas untuk membentuk Komite yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah.

Ini bukan saja merusak independensi Dewan Pers yang telah diatur dalam UU Pers, tetapi juga menimbulkan ironi besar. Perpres ini dirilis tanpa konsultasi mayoritas masyarakat pers, hanya dengan mengandalkan suara segelintir elit pers dan konstituennya.

Bagaimana mungkin puluhan ribu perusahaan pers di Indonesia diatur oleh suatu kebijakan tanpa konsultasi mayoritas? Sebaliknya, Perpres ini tampaknya menguntungkan kelompok elit yang selama ini menikmati belanja iklan nasional tanpa terganggu oleh regulasi anti monopoli.

Presiden keliru merilis Perpres tanpa melibatkan mayoritas masyarakat pers yang selama ini merasa diabaikan. Ironisnya, keputusan ini diambil tanpa mempertimbangkan nasib ribuan media yang belum terverifikasi Dewan Pers.

Namun demikian, peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-Dp/X/2019 Tentang Standar Perusahaan Pers, yang semestinya menjadi panduan standar bagi perusahaan pers, justru disalahgunakan Dewan Pers untuk memberikan regulasi, bertentangan dengan peran sebenarnya sebagai fasilitator sesuai UU Pers.

Dewan Pers tidak sepatutnya meminta peran sebagai regulator. Dan Presiden pun seharusnya tidak terburu-buru menetapkan Perpres tanpa melibatkan mayoritas masyarakat pers yang akan terkena dampaknya.

Dari segi hukum, Perpres ini jelas bertentangan dengan semangat UU Pers yang menghormati independensi pers dengan membiarkan mereka mengatur dirinya sendiri.

Penulis opini ini, Heintje Mandagi, Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesi, menekankan perlunya revisi mendalam atas Perpres ini untuk memastikan keadilan dan independensi pers yang seharusnya dijunjung tinggi.

Via
Waktu
Sumber
SPRI
Exit mobile version