Boroko, 6 Februari | Saat sinar mentari hampir menjelang waktu ashar, kegatalan di kepala menusuk menusuk seolah-olah memberi isyarat tak tertahankan. Tanpa ragu, aku segera ganti pakaian dan meraih kunci motor, menuju ke barber shop langganan.
Ketika hendak berangkat, istri dan anak-anak penasaran, “Kamana, Bi?” tanya mereka. Dengan senyum, aku menjawab dengan bahasa yang mungkin terdengar asing bagi sebagian, “Mo Pigi Ba Gunting So Ba Gula Rambu.” Senyum pun merekah, diiringi tawa yang mengalun 😂🤣.
Namun, anakku yang polos langsung mengejutkan dengan pertanyaannya, “Apa itu ‘ba gula’?” Aku tersenyum lebar, mencoba menjelaskan, “Itu adalah istilah romantis bagi mereka yang dilahirkan di era 80-an.”
Bersama motor Mio Sporti kesayangan istri, aku menancap gas menuju Pangkas Rambut Madura, tempat langgananku di simpang 4 taman Keydupa.
Tak berapa lama, teman lama, Donal Lamunte, muncul dengan tujuan yang sama, ingin merapikan potongan rambutnya.
Aku mencoba bertanya padanya dengan siasat, “Nal, kenapa mo ba gunting?” Dia tertawa dan menjawab dengan nada bergurau, “So Ba Rumpu Mania!” Kita pun saling tertawa 🤣.
Namun, satu pertanyaan tetap tergantung di udara, “Apa itu ‘So ba Gula’?” Jawabannya tetap mengambang di benakku, tak terjawab hingga saat ini.
Istilah itu, yang begitu akrab di era 80-an, seringkali terdengar di antara saudara-saudara, “Pigi ba guntung dulu so ba gula ini rambu.” Sebuah kenangan yang tetap menggema di hati.