Polemik dugaan penahanan ijazah di SMK Negeri 1 Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), terus memantik perhatian publik. Setelah Kepala Sekolah Sonya Sugianto menyatakan klarifikasinya tak dimuat dalam pemberitaan, kini dua organisasi pers di Sulawesi Utara (Sulut) ikut menyoroti persoalan ini dari sisi etika dan keberimbangan jurnalistik.
Ketua DPD Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) Sulut, Deky Geruh, menilai polemik ini bisa menjadi momentum refleksi bagi insan pers agar tidak melupakan prinsip dasar jurnalisme, yaitu obyektivitas dan keseimbangan.
“Kalau menurut saya, sesuai kode etik jurnalistik, sebagai wartawan seharusnya kita obyektif dalam menulis berita, tidak memihak, apalagi menghakimi,” ujar Deky Geruh kepada wartawan, Kamis (13/11/2025).
Geruh menegaskan, setiap berita wajib melalui proses verifikasi dan pengujian kebenaran sebelum tayang ke publik. Mengabaikan hak klarifikasi dari narasumber, kata dia, bukan cuma kelalaian teknis, tapi juga pelanggaran nilai moral profesi wartawan.
“Kalau kita datang mengkonfirmasi satu temuan, maka keterangan orang yang kita konfirmasi itu juga harus kita tulis secara jelas. Agar apa, agar beritanya berimbang dan tidak subjektif,” tambahnya.
Geruh juga memastikan bahwa SPRI Sulut terus berkomitmen menjaga integritas dan profesionalisme anggotanya. Ia menegaskan, hingga saat ini tidak ada wartawan yang terdaftar di bawah SPRI yang terlibat dalam praktik pemberitaan tidak beretika.
“Sejauh ini, kalau di SPRI saya belum pernah mendengar wartawan atau media binaan kami yang menghasilkan produk berita tanpa mengedepankan kode etik. Tidak ada,” ucapnya.
Geruh menambahkan, untuk memperkuat kualitas jurnalisme, SPRI Sulut, menurut Geruh rutin melakukan diskusi internal terkait teknik penulisan, regulasi, dan peran etika dalam praktik jurnalistik.
“Kita saja sampai saat ini terus berdiskusi, baik soal penulisan, etika, maupun undang-undang. Jadi kita terus memberi bekal agar wartawan bukan cuma tahu 5W1H. Tapi, juga harus memahami nilai moral dalam setiap karya jurnalistik,” tegasnya.
Pandangan serupa juga datang dari Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Boltim, Erwin Winerungan. Ia menilai, jika benar klarifikasi dari pihak yang diberitakan tidak diakomodir dalam berita, maka hal itu sudah termasuk menyalahi kode etik jurnalistik.
“Jika memang benar pihak yang jadi fokus berita sudah menjawab konfirmasi dari wartawan, tapi tidak diakomodir dalam tubuh berita, paling tidak walau hanya satu paragraf, maka itu sudah menyalahi kode etik jurnalistik. Dan, itu sudah ada unsur kesengajaan. Karena kenapa? Karena sudah hasil konfirmasi tapi tidak di muat dalam berita,” kata Erwin Winerungan.
Erwin juga menambahkan, bahanya lagi apabila sebuah berita sudah terlanjur terbit tanpa melalui proses konfirmasi, hal itu justru lebih fatal. Menurutnya, berita semacam itu sebetulnya tidak layak siar.
“Nah bagaimana jika tidak ada konfirmasinya, a itu lebih parah lagi. Artinya bahwa berita itu tidak layak tayang, tidak layak siar. Jadi, satu berita itu seharusnya baru bisa siar ketika sudah mendapat hasil konfirmasi. Apalagi ini kan menyangkut nama baik satu lembaga atau privasi, itu memang mutsinya ada konfirmasi. Jangan kita terkesan cuma memberitakan sepihak, menurut kemauan kita sebagai penulis,” jelasnya.
Melihat ramainya polemik, Erwin mengimbau seluruh wartawan di bawah PWI Boltim untuk menjunjung tinggi integritas dan etika profesi.
“Menyikapi ramainya perbincangan mengenai polemik pemberitaan terkait SMK Kotabunan ini, saya menghimbau wartawan yang tergabung dan keanggotaan PWI Boltim agar tetap menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dalam menulis berita,” ujarnya.
Erwin juga mengingatkan agar wartawan selalu berhati-hati saat menulis isu yang menyangkut privasi, nama baik lembaga, dan keseimbangan informasi.
“Kita juga tentunya harus memperhatikan etik dalam penulisan berita, terutama menyangkut masalah privasi orang, nama baik satu instansi. Bila tidak ada keseimbangan, tidak ada konfirmasi, itu kan merugikan pihak yang jadi subjek pemberitaan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala SMK Negeri 1 Kotabunan Sonya Sugianto menjelaskan bahwa pihaknya sudah memberikan keterangan kepada wartawan yang datang menanyakan soal dugaan penahanan ijazah. Namun, penjelasan itu tidak ada dalam pemberitaan yang beredar.
“Saya sudah menjelaskan hal yang sama ke oknum wartawan itu ketika dia mengkonfirmasi lewat telepon. Tapi jawaban dan penjelasan saya tidak muncul di berita, padahal sudah saya jelaskan,” kata Sonya, mengutip berita waktu.news (11/11/2025).
Hingga berita ini terbit, media yang memuat dugaan penahanan ijazah tersebut belum memberikan tanggapan atas klarifikasi yang Sonya sampaikan. (aah)
- Mengintip Kemeriahan HUT SMK N 1 Kaidipang Ke-16
- 6 Wartawan Senior Beri Materi Pelatihan Jurnalistik SPRI
- Wabup Boltim Prihatin, Peserta Ujian SMK Kesehatan Bulawan Hanya Tiga Orang
