Tutuyan – Kebutuhan masyarakat akan sinyal ponsel dan akses internet tampaknya sudah menjadi kebutuhan utama manusia layaknya makanan.
Apalagi di era transformasi digital ini, sinyal dan internet menjadi sangat penting di hampir semua urusan masyarakat termasuk ekonomi, politik, hukum dan pemerintahan.
Sayangnya, hal itu belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat seperti yang terjadi di Desa Matabulu, Matabulu Timur dan Jiko Belanga di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur.
Menurut Kepala Desa Matabulu Timur, Kamal A Mamonto, sulitnya untuk mendapatkan sinyal di daerah itu, memaksa warganya harus menuju ke puncak Gunung Loyow, sekitar 5-8 kilometer dari tempat mereka tinggal hanya untuk bertukar informasi melalui telepon.
“Yang ada sinyal, di gunung (Loyow). Dulu, sempat ada pada titik tertentu jika dicari, tetapi sejak desa Jiko Port memiliki sinyal, di sini (Matabulu Timur) tidak lagi ada, “kata Kamal Mamonto.
Perjuangan untuk mendapatkan sinyal di daerah tersebut, kata Kamal, sering diusulkan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa, Kecamatan sampai ke tingkat Kabupaten. Namun, sampai sekarang belum ada realisasi.
“Banyak kendala, terutama urusan pemerintah dan kemasyarakatan. Terlebih anak-anak sekolah, itu harus kepuncak untuk akses internet,” kata Kamal.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Kepala Desa Matabulu, Alfian Mamonto. Sejak masa pertama kepemimpinan Bupati Boltim, Sehan Salim Landjar, keluhan tidak adanya sinyal di wilayah tersebut juga telah disampaikan kepada pemerintah daerah, terutama kesulitan bertukar informasi.
“Jelas informasi agak terlambat. Jika ada kegiatan seperti pertemuan atau rapat, yang hanya disampaikan melalui WhatsApp atau telepon, kadang-kadang pertemuan telah selesai, baru kemudian kami mendapatkan informasi,” ucap Alfian.
Pada tahun 2020 lalu, ia bahkan mengaku dimintai data pengguna ponsel di tiga desa berdekatan itu oleh salah satu penyedia layanan, guna pendirian tower sinyal atau menara induk telekomunikasi.
“Bahkan pada saat itu, kami juga telah mengambil koordinat, akan tetapi, sejauh ini tidak ada realisasinya,” ungkapnya.
Meski Indonesia telah merdeka, lanjut Alfian, namun kemerdekaan akan halnya sinyal telepon seluler, belum sepenuhnya mereka rasakan. Namun, demi memerdekakan sinyal bagi warga diwilayahnya, ia akan mencoba upaya melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan cara menggadeng pihak yang mampu menghadirkan sinyal telekomunikasi.
“Semacam pemasangan Wireless Fidelity dari jarak jauh, tapi baru dapat mencapai lima puluh persen dari pengguna telepon seluler di Matabulu,” pungkas Alfian. (aah)