Untuk Alin Pangalima; sebuah Komentar sederhana

Oleh: Gugun Pohontu

Tadi siang, ada pemberitahuan masuk di ponsel saya. Dari bunyinya, sudah bisa ditebak bahwa ini notifikasi Facebook. Karena akhir-akhir ini banyak sekali notifikasi Facebook yang masuk, jadi saya urungkan untuk membukanya. Saya menduga itu pasti notifikasi di kolom komentar, jadi meskipun dibiarkan sedikit lama, tidak jadi masalah. Saya masih bisa membaca dan membalasnya.

Benar saja, itu notifikasi komentar di Facebook. Rupanya dari Alin Pangalima . Dia menandai saya di kolom komentar sebuah unggahan dari orang yang tidak saya kenal. Tapi, kemungkinan besar orang itu saling kenal dengan Alin. Unggahan itu, rupanya, adalah sebuah Ling tulisan. Judulnya, kalau tidak salah, “Surat Terbuka untuk Alin”. Seperti lirik lagu Virgoun saja, pikirku.

Karena tertarik, sebelum membaca komentar Alin, saya terlebih dahulu membaca tulisan itu; sebuah masukan untuk tulisan alin yang provokatif itu. Dalam tulisan itu, kurang lebih, dia menyarankan, kalau bukan mengkiritik, bahwa perlunya disertakan data dan landasan teori untuk memperkuat argumentasi. Di samping menguatkan kritik, ini juga akan lebih mendidik masyarakat, tulisnya. Dan seterusnya (nanti baca saja tulisannya, di laman Facebook Alin Kayaknya masih ada).

Setelah membaca tulisan itu, saya kemudian membaca komentar Alin yang menandai saya itu. Dalam komentar itu, Alin meminta saya untuk membuatkan hal yang sama untuknya: membuat sebuah surat terbuka. Namun, ketika saya mau membalasnya, ternyata komentar itu sudah dihapus. Entah apa maksud Alin. Ya sudah, saya membatin.

Sebenarnya, saya tidak perlu ribet-ribet untuk memberi komentar, masukan, atau sejenisnya terhadap tulisan bringas itu. Cukup saya telphone atau ajak nongkrong; setelah itu akan saya berikan, bukan cuman kritikan, tapi juga ocehan yang berkelindan dengan hinaan. Itu pasti. Dan Alin pasti tau itu. Tapi setelah dipikir-pikir, saya kayaknya perlu untuk memberikan komentar kecil terhadap tulisannya itu.

Pertama, kurang lebih seperti yang masukan yang disampaikan oleh temannya Alin dalam tulisannya, bahwa ini perlu data, juga beberapa teori yang bisa menerangkan tentang apa itu nepotisme, ideologi dan, yang paling penting, apa itu dinasti politik; bagaimana bekerjanya relasi itu dalam politik dan dampaknya. Agar, meminjam istilah temennya si Alin itu, “masyarakat juga bisa tercerahkan” dan ini akan menjadikan opini itu, katakanlah, lebih bermutu, bukan hanya provokatif semata. Pendeknya, saya mengamini masukan dari temannya si Alin itu.

Kedua, itu hanya opini, tidak ada keharusan data disitu. Saya ulang: tidak harus! Tapi, kalau disertakan justru lebih bagus. Sebuah opini, walaupun hanya bermodalkan pengalaman (persepsi) dan penalaran, bisa saja bermutu dan mempengaruhi banyak orang. Contohnya tulisan-tulisan Deny Siregar. Tergantung bagaimana penulis mengulasnya. Di sisi lain, banyak yang menuduh bahwa itu bersifat subjektif. Tapi, sebagai opini, apa masalahnya? Memang opini sarat akan subjektifitas. Lantas, apakah tidak ada kebenaran yang terkandung di dalamnya? Apakah harus dengan data agar dikatakan benar? Eiit, tunggu dulu! Itu pun bagi saya, subjektif.

Kebenaran (kenyataan) itu bukan hanya soal data saja, apalagi data statistik. Bahkan, dalam banyak kasus, sering kali orang bisa salah menganalisis, walaupun sudah menyertakan teori yang paling mutakhir sekalipun; walaupun itu ilmiah.

Nah, agar lebih Arif untuk melihat tulisan Alin itu, bagaimana kalau kita sodorkan alternatif lain, yaitu dengan refleksi. Bagi saya, refleksi itu juga mempunyai nilai kebenaran. Bahkan, banyak sekali filsuf dan pemikir-pemikir besar lainnya yang menggunakan metode ini dan berhasil mempengaruhi dan merubah secara radikal kehidupan manusia, salah satu contohnya: Descartes, yang pemikirannya masih berpengaruh secara kuat. Di Indonesia, misalnya, positivisme hukum dan hirarki norma ala Hans Kelsen yang juga merupakan Cartesian, yang pemikirannya begitu berpengaruh dalam sistem hukum di Indonesia. Sampai hari ini. Dan masih banyak lagi pemikir yang menggunakan metode ini.

Dan saya kira, Alin dalam hal ini hanya mengandalkan kekuatan refleksi. Ia berupaya mengurai pengalamannya (apa yang dia lihat, dengar, dan rasakan). Bukankah akan lebih bijak, bila kita menjadikan buah refleksi yang subjektif itu, barang kali apa yang dia sampaikan ada benaran (sekedar mengafirmasi, bahwa ada banyak orang yang punya anggapan bahwa di Bolmut itu banyak nepotisme, dan bagi saya, itu adalah kenyataan, kalau tidak mau disebut kebenaran) dan merupakan kepongahan epistemik bila kita hanya mengkultuskan satu metode saja seraya menafikan metode yang lain dalam mencari kebenaran!

Ketiga, ini masukan saja untuk Alin, cobalah membaca tulisan-tulisan Deny Siregar. Ia adalah contoh bagus untuk belajar tentang bagaimana mengulas sebuah isu, meskipun tanpa data dan teori, melainkan hanya refleksi –bahkan dalam banyak kesempatan tulisannya berisat agitatif. Kalau pun pake data, data-data itu pun tidak bisa dikatakan valid. Tapi, cara ia mengulas begitu ‘enak’ dan mengalir. Pembaca dibuat terpana dan kehilangan kendali hingga buru-buru mengamini apa yang dia tulis. Singkatnya, coba belajar dari dia. Siapa tau bisa jadi buzer, kayak Deny Siregar.

Keempat, dan ini mungkin yang terakhir, bagi saya pribadi, tulisannya Alin itu anti klimaks, bisa juga dikatakan sebagai jenis opini opini yang sembarangan. Anti klimaks, karena judulnya provokatif (Bagi saya, itu adalah tuduhan yang tidak main-main). Sehingga, membuat orang mempunyai ekpektasi setinggi langit untuk menelisik isi tulisannya. Namun, seketika mereka kecewa karena isinya sangat tidak mendukung judulnya (dan mudah-mudahan saja, tidak ada yang mengamininya begitu saja.)

Saya sebut sembarangan, karena dia tidak mempertimbangkan argumentasi yang ia tulis, bagitu banyak cela untuk diporak-porandakan. Tapi anehnya, mereka yang terusik tidak melihat kelemahan-kelamahan itu, karena sudah terlanjur bereaksi dengan kemarahan. Akibatnya, otaknya tidak sempat dipake. Tapi, terlepas dari itu semua, saya mengapresiasi keberaniannya (Jarang ada perempuan yang berani sepertinya), serta mengucapkan banyak terima kasih karena telah memantik perdebatan (diskursus) yang sehat di ruang publik, sehingga ruang publik kita menjadi lebih bermutu.

Yang paling terakhir: masih ada beberapa lagi, tapi nanti saja, kita lanjut di warung kopi.

Tabe ☕

Pinagut, 25 Mei 2021

Opini Terkait: Bolmut Sebagai Sarang Nepotisme dan Penganut Ideologi Politik Dinasti

Exit mobile version