Bolmut di Pemilu 2024? Sebelum itu, Yellow Card for Local Government
Oleh: Alin Pangalima
Taking-talking soal yang satu ini tentunya harus menjadi pembahasan yang wajib, perlu adanya riset dalam menentukan pemimpin. Karena kebijakannyalah yang akan menentukan petaka atau bahagia satu kaum yang dipimpinnya. Ini pun menjadi satu hal yang wajib didikusikan dalam kalangan masyarakat, tak terkecuali pemuda yang melek akan politik. Apalagi menyoal Pemilu di tahun 2024 yang sudah pasti, akan dipersiapkan secara matang baik dari lembaga penyelengara hingga para bakal calon, eksekutif juga legislatif. Pertanyaannya seperti apa facenya calon pemimpin kita di tahun tersebut.
Pergulatan politik di setiap daerah tentu mempunyai ciri khasnya masing-masing, tak terkecuali Bolaang Mongondow Utara daerah yang baru 14 tahun dimekarkan ini. Banyak hal-hal menarik sekaligus menjengkelkan yang menjadi pemanis dalam setiap Pemilu dari tahun ke tahun. Buktinya? Bisa dilihat dari beberapa waktu sebelum pemilihan digelar. Banyak sekali masyarakat yang menunggu “serangan fajar” dari para Caleg. Masyarakat menjual suaranya dengan rupiah—yang sekali pakai bisa jadi “tai”—kepada orang-orang yang sebenarnya sudah mempunyai niat jahat sebelum dan sesudahnya. Karena dari banyaknya kepastian, yang paling pasti adalah, tidak ada yang gratis di muka bumi ini.
Kita sering mendengar kata-kata yang diucapkan sebagai janji manis dari para Caleg ketika pemilu datang menjelang, tak jarang mengunakan jalan ninja sebagai sarana pemenangan. Apa itu jalan ninja? Money politic—politik uang. Yaps, itu hal yang paling marak terjadi ketika pemilu menjelang. Itu biasa, meng-nasional bahkan, tidak ada obat penawar meski sudah didirikan berbagai lembaga penanggulangan bencana kesalahan berpikir dalam memaknai pemilu, KPU dan Bawaslu misalnya. Buktinya? Semua yang wajib pilih pasti tahu itu; rahasia umum.
Kenapa saya katakan jahat? Karena orang-orang seperti itu, tidak paham arti demokrasi dan mencederainya dengan segala bentuk pelanggaran, itulah sebab kenapa Bolmut perlu mengadakan kader partai terlebih dahulu, jangan asal merekrut orang untuk dijadikan wakil rakyat. “Ah, asal si ini punya banyak uang dan populer di kalangan masyarakat, ajak saja dia ke partai ini, parsetan dengan kinerjanya, bodoh amat apakah dia punya latar belakang politik yang mumpuni sebelumnya, sikat saja.” Ini fenomena yang tidak baik tapi telanjur membudaya dalam lini kehidupan masyarakat, dan hal tersebut terjadi di seluruh penjuru negeri ini.
Ini perlu menjadi bahan evaluasi untuk masyarakat ke depan, biar tidak salah pilih orang yang akan mengawal aspirasi masyarakat. Masyarakat pun, harusnya bisa paham bahwa suara rakyatlah yang akan menentukan akan jadi apa daerah ini selama lima tahun ke depan, jangan korbankan yang 1.825 hari hanya karena beberapa menit saja di TPS—dan itu tugasnya KPU untuk mengedukasi.
Untuk itu, mari menilik ke 3 kali kepemimpinan dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, baik dari lembaga eksekutif maupun legislatif, dari bupati hingga DPRD, dari pihak Kepolisian Daerah hingga Kejaksaan Negeri. Dari kampanye hingga kampanye kembali. Di sini, ada beberapa program pemerintah yang dianggap merugikan uang negara dengan jumlah yang bukan kaleng-kaleng.
Memang, dari tahun ke tahun tidak ada kepemimpin yang bisa merealisasikan visi dan misi juga program-program yang disabdakan dalam proses kampanye. Tapi, harus menjadi bahan pembelajaran bahwasanya proyek yang mandek itu merugikan puluhan miliar dengan tidak ada tersangkanya, hingga kinerja pemerintah dari pusat hingga daerah, dari Kejari Bolmut hingga pihak Kepolisian Daerah perlu dipertanyakan.
- Rudis Bupati dan Wabup yang Ada di Gulantu Desa Bigo Selatan
Terdengar dari desas-desus yang beredar dalam masyarakat, bahwasanya gedung yang merugikan banyak sekali uang negera ini, hanya menjadi tempat maksiat para kaum muda—kaum tua? Mungkin saja. Lihat saja itu bentuknya, layak untuk dijadikan tempat pembantaian dan shooting film horror. Saran saya kepada Pemda, agar menjadikan tempat ini sebagai tempat sewaan shooting film psikopat saja, biar tidak rugi-rugi amat. Karena di zaman yang sudah semakin canggih, akan sulit menemukan bangunan-bangunan seperti ini, apalagi dihiasi dengan logo Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, keren memang. Saran saya, biar lebih alami, ditambahkan mesin kincir angin dibagian logonya, hehehehehe.
- Jembatan yang Ada di Desa Ollot II
Jembatan ini sudah sangat lama didirikan tianggnya, saking lamanya saya sudah lupa tahun berapa, bisa dilihat model bangunannya, layak untuk dimusiumkan karena sudah hampir hanyut. Bangunan yang awalnya berada di pinggir sunggai, seiring berjalannya waktu sudah berpindah ke tengah sungai, kasihan sekali bangunan yang “tabiar” ini.
Padahal kata salah satu petinggi daerah ini, itu sudah ada biayanya, dan kalau saya tidak salah dengar anggarannya berjumlah 35 miliar—tapi, saya yakin saya tidak salah dengar—namun, lihat saja itu, ada jembatannya tapi masyarakat mengunakan rakit sebagai sarana “penyebrangan”, miris sekali.
- Pelabuhan Tanjung Sidupa di Desa Tuntung
Pelabuhan yang menurut beberapa berita yang saya baca, bahwasanya kondisinya yang tidak terawat padahal ini bisa menjadi aset yang akan menopang perekonomian daerah. Di sini bisa dilihat kinerja dari eksekutif dan Dishub yang terkesan “bakusedu” dalam mengatasi proyek tersebut.
- TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di Desa Inomunga
Dilansir dari media waktu.news program ini menelan biaya yang cukup fantastis, sudah lebih dari cukup untuk membiayai 7 keturunan saya, hehehehe. Tapi lihat saja itu, sampah berceceran di mana-mana, hampir disetiap tikungan jalan disuguhkan dengan pemandangan yang mengotori kacamata. Oh iya, faktornya kenapa bisa jadi seperti itu, mungkin perencanaanya yang kurang mapan atau proyeknya segar untuk dinikmati? dan tersangka untuk pembebasan lahanya sudah 7 orang terseret, bagaimana dengan proyeknya?
- Gedung Diklat Pemdakab di Inomnga
Nah, ini juga “beda-beda tipis” dengan Rudis Bolmut, sudah menelan biaya yang cukup besar tapi hanya jadi sarang kuyang. Harusnya gedung ini rampung pada tahun 2017, tapi sampai sekarang masih “tabiar”. Kroscek diberbagai media, belum ada rilis resmi dari pemerintah daerah terkait kejelasan bangunan tersebut. Entah saya loading atau memang benar-benar belum ada, hehehehe.
- Tempat Penampungan Ikan di Tanjung Sidupa
Bangunan terbengkalai yang menunggu waktu dilanjutkan pembangunannya atau…. Padahal sudah menelan biaya. Dua ribu sayang kalau tidak dilanjutkan. TPI pending, tempat pembuatan Es yang dari sononya juga pending? Padahal tempat sangat dan sangat sekali dibutuhkan oleh nelayan yang ada di Bolmut. Confused juga dengan mode perencanaanya.
- Jalan Transmigrasi Goyo
Saya kurang tahu persis, berapa anggaran yang dikucurkan pemerintah untuk membangun jalan ini—saya cari di media, hanya ada beberapa yang memuat berita, itu pun tidak jelas, ini bukti bahwa Goyo benar-benar dianaktirikan, media saja jarang menilik—pasalnya sebagian jalan diaspal dan sebagiannya lagi dibiarkan seperti sungai yang dikeringkan, penuh dengan bebatuan.
Ini tentunya akan sangat membahayakan masyarakat setempat jika tidak dilanjutkan pembangunannya, karena ini adalah akses satu-satunya menuju ke kampung sebelah. Bayangkan jika jalannya begini dan ada orang sakit yang sekarat atau ada ibu-ibu yang mau melahirkan dan akses jalannya seperti ini, bisa jadi ibu-ibu akan melahirkan tengah di jalan, nyawa pun bisa melayang. Mengingat Goyo berada di pedalaman, maka akan sangat sulit jika akses jalan begitu-begitu terus dari tahun ke tahun.
Yah, meski sudah ada Pusukesmas Pembantu (Pustu), tapi peralatannya tidak memadai, juga tenaga kesehatannya yang jarang datang, menjadikan berobat atau melahirkan di sini sama saja dengan bunuh diri.
Bisa dilihat program-program yang mandek, padahal sudah menelan biaya dalam jumlah besar; puluhan miliar, ini angka yang cukup fantastis, loh. Padahal bolmut baru berusia 14 tahun, tapi lihat, banyak sekali proyek-proyek yang “tabiar”.
Bayangkan dari puluhan miliar itu, jika dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan, berapa jumlah masyarakat yang bisa diberi makan? Berapa jumlah pengangguran yang bisa diberikan lapangan pekerjaan? Berapa jumlah anak yang bisa melanjutkan pendidikan? Berapa jumlah guru yang mendapatkan gaji yang layak? Berapa jumlah kemiskinan yang bisa diatasi?
Hal ini tentunya harus menjadi bahan pembelajaran yang serius, bahwasanya kinerja pemimpin dari berbagai lapisasan pemerintahan perlu ditingkatkan, saya pikir, jika alasan kemandekan dari proyek-proyek itu, karena pendemi, itu bukan jawaban yang waras, karena proyek-proyek itu jauh dari tahun-tahun sebelum Covid-19 menyerang. Ada apa di balik itu semua? Korupsi? Jika ia, kartu kuning untuk pemerintah setempat. Meski banyak kasus begitu, Bolmut mendapatkan prestasi WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) selama lima kali berturut-turut. Ganjil sekali bukan?
Ok, Terima kasih ya buat yang sudah membaca tulisan saya, nextnya akan dilanjutkan dengan ratusan miliar aset daerah yang so apa staw, hehehehe