PWI dan KPK: Ironi Pemberantasan Korupsi di Tangan Yang Tercela
Dalam artikel “Balada PWI dan KPK di Lingkaran Kekuasaan” yang ditulis oleh Wilson Lalengke, tema utama yang diangkat adalah masalah korupsi yang merajalela di Indonesia, khususnya dalam lingkaran kekuasaan. Penulis membuka dengan mengutip Lord Acton yang menyatakan, “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely,” menggarisbawahi bahwa kekuasaan cenderung melahirkan korupsi, dan kekuasaan mutlak menghasilkan korupsi secara mutlak.
Dalam sejarahnya, perilaku korup sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit, di mana pelaku korupsi dihukum mati. Namun, di era modern, korupsi telah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, mulai dari elit pemerintahan hingga percakapan di warung kopi. Korupsi dianggap sebagai pelumas pembangunan oleh beberapa politisi, sementara lainnya menganggap sedikit korupsi tidak berbahaya. Sikap ini menunjukkan normalisasi dan penerimaan korupsi di berbagai lapisan masyarakat.
Menurut Global Transparency International pada tahun 2023, Indonesia menduduki posisi ke-115 dari 180 negara dalam hal korupsi, yang jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura dan Vietnam. Bahkan Timor Leste, yang pernah menjadi provinsi di Republik Indonesia, memiliki peringkat yang lebih baik.
Kasus korupsi terbaru mencakup dugaan korupsi di kalangan wartawan, termasuk beberapa petinggi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Skandal ini melibatkan dugaan penggelapan dana hibah dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya terbatas pada pemegang kekuasaan pemerintah tetapi juga telah merambah ke sektor lain termasuk media.
Penulis artikel menekankan bahwa perilaku korupsi di Indonesia telah menjadi sistematis dan terstruktur. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang didirikan lebih dari 20 tahun yang lalu, tampaknya belum berhasil menghentikan atau bahkan mengurangi korupsi. Bahkan, korupsi juga terjadi di dalam KPK sendiri, mulai dari tingkat atas hingga staf penjaga sel.
Artikel ini menggarisbawahi pentingnya refleksi dan penilaian ulang terhadap strategi pemberantasan korupsi di Indonesia. Membuat perbandingan dengan masa lalu di mana hukuman keras diterapkan, penulis mengajukan pertanyaan kritis: mengapa institusi yang seharusnya memerangi korupsi, seperti PWI dan KPK, justru terlibat dalam korupsi? Jawabannya tidak sesederhana meminta pada rumput yang bergoyang, namun lebih kepada pemahaman bahwa korupsi telah mengakar dalam dan membutuhkan upaya lebih dari sekedar pemberantasan; perlu ada perubahan mendasar dalam sistem dan moralitas kolektif.