RDP di DPRD Boltim Soal Polemik Aktivitas PT BTPR Menguak Banyak Fakta
WAKTU.news – Rapat Dengar Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow Timur soal polemik aktivitas PT BTPR di kawasan hutan Garini, Senin (30/1/2023), senin lalu, menguak banyak fakta menarik.
Salah satu bahasan panas dalam RDP itu adalah soal pengakuan masyarakat tentang dugaan perusakan hutan di Garini, Desa Buyat, Kecamatan Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongomdow Timur.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh salah satu perwakilan masyarakat, Alfian Lasabuda.
Menurutnya, warga mendapati ada dua buah ekskavator berada di hutan Garini. Kedua alat berat tersebut diduga adalah milik PT Bolmong Timur Primanusa Resources atau BTPR.
“Hutan Garini ketika sudah dirusak dengan alat berat, maka hancurlah hutan Garini. Ekosistim di sana ikut hancur, yang dampaknya ada pada masyarakat Buyat dan Bukaka. Selama lima bulan Bolmong Timur (BTPR) berada di sana, sudah tiga kali melakukan pengrusakan di atas (hutan Garini),” ungkap Alfian Lasabuda.
Alfian mendesak DPRD Bolaang Mongondow Timur agar mengeluarkan rekomendasi penghentian kegiatan BTPR di kawasan hutan Garini. Sebab, ia menduga perusahaan tersebut belum mengantongi izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
“Kalian (PT BTPR) sudah melakukan dugaan ilegal loging, sudah menebang kayu, menggusur. Ada tidak izin dari kehutanan untuk menebang kayu, tunjukan kepada kami, supaya jelas. Kalau tidak ada, silahkan anda angkat kaki,” pintanya.
Tidak hanya itu saja, Alfian juga meragukan peta wilayah IUP BTPR. Pasalnya, berdasarkan data dan informasi yang diperolehnya, bahwa peta IUP BTPR pada tahun 2014 dengan 2020 luas arealnya tidak berubah namun wilayahnya justru bertambah.
Keraguannya itu, kata Alfian, diperkuat oleh sebuah pernyataan Profesor Bobby Polii yang menyebutkan bahwa Amdal BTPR tidak terletak di kawasan Garini.
“Okey, kami akui IUP kalian itu sah. Jika 7.798 hektare tunjukan kepada kami lokasi IUP itu ada di mana. Nah, sekarang kalian beroperasi di IUP Kutai Surya Mining. Entah sudah dibekukan IUP KSM atau sudah diambil oleh negara, yang jelas buktikan dulu berapa ribu hektare supaya jelas. Bila perlu dengan Dinas ESDM Provinsi turun lapangan cek titik koordinatnya. Karena kami punya peta Mei 2022, Garini sekarang itu tidak masuk di IUP BTPR,” pungkasnya.
Sementara itu, Direktur PT BTPR Carlo Valentino Sahulata membantah semua tudingan masyarakat tentang adanya perusakan hutan.
Menurut Carlo, keberadaan alat berat di hutan Garini bukan untuk melakukan aktifitas penambangan, tetapi dalam rangka memperbaiki akses jalan rusak untuk kegiatan eksplorasi.
“Sejak kami terima IUP OP, kami mengatakan dan meralat info yang kami terima dari masyarakat, kami sudah melakukan penambangan. Karena kalau kami melakukan, resikonya berat sekali,” ujarnya.
Carlo menjelaskan, PT BTPR mulai melakukan pengurusan IUP di wilayah Bolaang Mongondow Timur sejak tahun 2009 pada masa Bupati (Pj), Kandoli Mokodongan.
Namun, IUP eksplorasi dan rekomendasi IPPKH baru keluar di periode pertama Bupati Bolaang Mongondow Timur, Sehan Salim Landjar.
“Tahun 2011 kami mendapat IUP ekplorasi dari Bupati Sehan Landjar, waktu itu. Dan 2011, 2012 kami masuk langsung menerima rekomendasi dari beliau (Bupati) untuk melakukan kegiatan selanjutnya. Kemudian IPPKH waktu itu, sudah keluar sampai rekomendasi oleh pak Gubernur Sarundajang,” jelasnya.
Lebih lanjut Carlo menjelaskan, pada saat pengurusan IPPKH, IUP BTPR harus disesuaikan lantaran adanya regulasi baru dimana seluruh proses perizinan ditarik ke pusat (Pemerintah Pusat).
Proses pengurusan itu menurutnya cukup menyita waktu yang sangat panjang sehingga mereka baru bisa menutuntaskannya pada tahun 2017.
“Pengurusan itu tidak mudah karena makan waktu. Dari tahun 2013 kami urus, ada antrian yang sangat panjang dan kami baru dapat clear and clean tahun 2017,” jelas Carlo.
Tidak berhenti sampai disitu, kata Carlo, disaat mereka terus melengkapi syarat perizinan agar bisa melakukan penambangan di Boltim, tahun 2019 BTPR berganti kepemilikan.
Di bawah pimpinan pemilik yang baru, BTPR pada tanggal 1 Desember tahun 2020 kemudian mendapatkan IUP Operasi Produksi.
IUP OP itu dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Daerah Provinsi Sulawesi Utara melalui Surat Keputusan nomor 503/DPMPTSPD/IUP-OP/BolmongTimur/11/2020 tentang Persetujuan IUP OP kepada Bolmong Timur Primanusa.
“Dan persyaratan yang utama mulai tahun 2020 kami sudah lengkapi, yaitu kami mengurus Amdal dan menerima SK izin lingkungan dari pak Gubernur dalam hal ini ditandatangani oleh kepala dinas PTSP provinsi. Kemudian uji kelayakan, dimana kami memaparkan hasil studi kami sehingga tahun 2020 kami bisa membebaskan uji kelayakan sebagai syarat untuk meningkatkan ke IUP OP, terangnya.
Carlo menambahkan, Amdal BTPR sudah ada sejak tahun 2013. Tetapi pada tahun 2019 pemilik baru kembali mengajukan studi kelayakan Amdal karena yang lama telah kadaluarsa.
“Waktu itu mereka menerbitkan surat penghapusan dan harus mengadakan sidang kerangka acuan, dan itu kami lakukan sesuai prosedur, makan waktu yang tidak sebentar, mungkin hampir setahun untuk menjalani Amdal itu, sampai kepada sidang RKL dan sidang amdal yang terakhir semua dilakukan di provinsi,” tambahnya.
“Dan Amdal ikut dibantu oleh konsultan yang juga dari provinsi dan kami mengadakan survey dibeberapa titik waktu itu. Nah, secara detail kami memang kurang tahu bagaimana pengurusannya. Tapi itu dulu yang saya tahu, juga ada komunikasi ke badan LH dan kami melakukan komunikasi waktu itu ke tingkat desa di Tomobolikat, Bukaka dan Buyat,” pungkasnya.
Diketahui, RDP yang digelar oleh DPRD Boltim itu dihadiri perwakilan masyarakat Buyat dan Bukaka, pimpinanan PT BTPR, Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Utara, Asisis II bersama sejumlah OPD Pemkab Boltim, dan beberapa kepala desa di kecamatan Kotabunan. (aah)
Berita Lainnya;
- Anggota DPRD Boltim Sunarto Kadengkang Singgung PT BTPR Perusahaan Perusak Alam
- Mantan Bupati Boltim Sehan Salim Landjar Bongkar “Luka Lama” PT Bolmong Timur Primanusa Resources
- Hebatnya PT ASA, Kantongi Amdal Tanpa Konsultasi Publik