Waktu.news | Suntikan vaksin Sinovac pertama telah dilakukan, kontra pun tidak luput dalam proses vaksinasi ini, bagaimanakah upaya pemerintah membangun kesadaran masyarakat terhadap vaksin? Simak ulasannya berikut ini!
Suntikan Pertama Vaksin Asal China ke Orang Nomor Satu Indonesia
Indonesia menjadi negara ketiga yang menggunakan vaksin Sinovac dalam penanganan kasus Covid-19. Dengan tingkat efikasi yang mencapai 65,8% telah meraih izin dari BPOM dan berada di atas ketetapan syarat efikasi dari WHO sebesar 50%, serta mendapatkan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia.
Joko Widodo alias orang nomor satu Indonesia menjadi yang pertama merasakan vaksin Sinovac. Adapun Dokter Abdul selaku Wakil Dokter Kepresidenan berhasil menuntaskan tugasnya (walaupun tangannya sempat gemetar) pada hari Rabu, 13 Januari 2021.
Prioritas vaksinasi di Indonesia
Kemenkes telah mengeluarkan aturan dalam proses vaksinasi sebagai upaya penanggulangan Covid-19 di Indonesia. Prioritas penerima vaksin akan mengutamakan garda terdepan, seperti Tenaga Kesehatan, Tenaga Pelayanan Kesehatan, Aparat Hukum dan Keamanan, serta Petugas Pelayanan Publik yang lain.
Tahapan dalam proses vaksinasi disesuaikan dengan ketersediaan vaksin, kelompok penerima, dan jenis vaksin yang ada (Gavi/Covax, Merah Putih, Novavax, Sinovac). Saat ini pemerintah telah memiliki vaksin sebanyak 1,2 juta dosis jenis Sinovac.
Orang pertama tolak vaksin di Indonesia
Tak dapat dipungkiri dalam penanggulangan Covid-19 menuai pro dan kontra, termasuk proses vaksinasi yang akan dilaksanakan.
Kontra selalu menjadi pusat perhatian dan sangat cepat mendapatkan suatu kepercayaan. Itu telah dilakukan oleh Wakil Rakyat, Ribka Tjiptaning yang menjadi orang pertama dalam menolak vaksinasi di Indonesia.
Hal ini ia utarakan pada rapat Komisi IX, sehari sebelum vaksin pertama disuntikan kepada Jokowi. Menurutnya, vaksin Sinovac belum melewati tahap ketiga uji klinis oleh Bio Farma, sehingga vaksin tersebut masih diragukan dalam proses vaksinasi di Indonesia.
Ribka juga memperkuat argumennya dengan menyinggung soal vaksinasi yang pernah dilakukan di Sukabumi dan Malajaya yang membuat orang lumpuh hingga meninggal dunia.
Kemudian ia berpesan kepada Menteri agar tidak menjadikan situasi pandemi Covid-19 sebagai ajang bisnis yang merugikan rakyat. Seperti halnya kasus swab yang dialami langsung oleh Ribka, terdapat perbedaan harga di rumah sakit swasta Jakarta dan salah satu klinik yang tergolong jauh.
Efektivitas vaksin Sinovac, keakuratannya masih tergolong rendah
Walaupun telah mendapatkan ijin dari BPOM untuk beroperasi dalam penanggulangan Covid-19, keakuratan dari vaksin Sinovac masih rendah, itu ditujukan dengan pengujian yang dilakukan hanya melibatkan 1.620 orang di Indonesia.
Adapun tingkat efikasi di Turki mencapai 90% lebih untuk menyatakan vaksin manjur digunakan. Namun, pengujian lokal yang dilakukan, masih tergolong rendah untuk menyimpulkan bahwa vaksin Sinovac dapat berpengaruh positif dalam penanggulangan kasus Covid-19.
Terakhir dari benua Amerika yaitu Brazil mengalami penurunan efikasi sebesar 20% lebih, menjadi 50,38%. Efikasi yang sangat tipis dan telah berada di ambang bawah ketetapan yang diberlakukan oleh WHO.
Hal Ini memicu motif politik dalam produksi vaksin Sinovac dan diperkuat oleh ungkapan Petrovsky seorang profesor dari Universitas Flinders yang mengindikasikan mereka (yang memproduksi vaksin Sinovac) melebih-lebihkan manfaat dari Sinovac akibat tekanan finansial dan prestise.
Bukan tidak mungkin, data yang ditunjukkan dari vaksin Sinovac bisa membuat pemerintah negara mempertimbangkan penggunaannya. Karena, tingkat kemanjurannya masih jauh dari hasil vaksin negara barat (Moderna (94%) dan Pfizer/BioNtech (95%)).
Ketentuan dalam proses vaksinasi vaksin Sinovac dan efek samping yang ditimbulkan
Sebelum seorang menjalani vaksinasi, harus mengetahui terlebih dahulu ketentuannya, yakni tidak memiliki riwayat alergi berat, tidak berada di atas umur 65 tahun, tidak pernah positif/ terpapar virus Covid-19, tidak demam (37,5 derajat, suhu tubuh maksimal), tidak tekanan darah, tidak berada dalam kondisi hamil, tidak penyakit ginjal, tidak mengalami masalah pencernaan kronis, tidak HIV, tidak asma maupun TBC (boleh, jika telah mendapatkan penanganan obat anti Tuberkulosis selama dua minggu), dan tidak bagi penderita diabetes dengan salah satu ketentuannya (mmol/mol di bawah 7,5%).
Adapun beberapa efek samping yang akan muncul ketika proses vaksinasi ini dilakukan, yakni Lokal (iritasi, nyeri, bengkak, kemerahan) dan Sistemik (rasa capai (lelah), demam, nyeri otot).
Efek samping itu dikatakan bersifat sementara. Namun, hal ini tentu menjadi kekhawatiran bagi setiap orang yang akan menjalani proses vaksinasi. Terlebih lagi, bagi seorang atlet yang sangat mengutamakan fisik.
Salah satu atlet pun mengungkapkan kekhawatirannya dan berencana menolak vaksin, yakni Michael Orah. Dengan data yang cukup tumpang tindih membuatnya menarik kesimpulan bahwa vaksin harus dijamin bagus untuk keselamatan, bukan sebagai ajang uji coba.
Upaya membangun kesadaran masyarakat tentang proses vaksinasi
Proses vaksinasi ini merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam pemenuhan kesehatan masyarakat Indonesia pada pandemi Covid-19 agar dapat terealisasikan secara layak.
Sosialisasi dari tenaga kesehatan sangat diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam penanggulangan Covid-19 melalui proses vaksinasi menggunakan vaksin Sinovac.
Sanksi pun telah ditetapkan dan dinyatakan langsung oleh Wamenkuham, Eddy dan terdapat pula ancaman pidana bagi yang menolak divaksin, sesuai pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, pasal 28 UUD 1945, pasal 153 UU Nomor 36 tahun 2009.
Namun, bagi yang kontra dalam proses vaksinasi ini sangatlah berpeluang terkena sanksi dan ancaman pidana tersebut, serta adanya indikasi bahwa mereka akan menguatkan pendiriannya menolak divaksin (apalagi kesadaran masyarakat belum tentu positif memandang proses vaksinasi ini sebagai upaya penanggulangan Covid-19 yang tepat).
Untuk mencegah hal itu terjadi, Hasrul Buamona selaku Pakar Hukum Kesehatan menilai kebijakan dari Wamenkuham tidak tepat sebagai upaya membangun kesadaran masyarakat tentang proses vaksinasi, dengan berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018.
Ia lebih setuju, jika diganti dengan UU Nomor 4 Tahun 1984 pasal 14 ayat 1 (Wabah Penyakit Menular) untuk menindak bagi yang kontra terhadap proses vaksinasi.
Pernyataannya itu pun bisa dianggap dapat mengurangi tafsir bahwa ada aliran bisnis dan memaksa masyarakat mengikutinya, untuk mewujudkan motif tersebut.
Peluang berita hoaks muncul di tengah proses vaksinasi
Dengan data yang cukup tumpang tindih soal keakuratan vaksin Sinovac. Berpeluang munculnya banyak berita hoaks sebagai upaya penolakan proses vaksinasi dan akan mempengaruhi masyarakat dengan memandang vaksin Sinovac akan memberikan efek negatif bagi mereka.
Google pun mendukung dan menyiapkan dana sebanyak empat puluh dua miliar, untuk menangkal hoaks yang beredar di tengah vaksinasi, yang ditujukan kepada jurnalis dan lembaga yang bertugas sebagai pemeriksa fakta di seluruh negara dunia. Agar terwujudnya artikel yang bagus dan memenuhi syarat, serta berupaya menjangkau pemirsa yang menjadi momok miss-informasi.
Tidak jauh-jauh, kita bisa memeriksa validitas informasi melalui situs web covid19.go.id, tepatnya di tautan berikut ini, https://s.id/infovaksin. Kemudian tekan Cek & Buktikan Hoaks, serta masukkan kata kunci atau informasi beredar yang kita dapatkan, setelah itu akan muncul beberapa konfirmasi informasi yang tidak benar.
Tantangan bagi Pemerintah Indonesia
Sudah adanya kontra di awal proses vaksinasi ini, pemerintah pastinya perlu memperhatikannya untuk dapat memberikan keputusan yang tepat. Karena ini bukan saja soal menanggulangi kasus Covid-19 di Indonesia, tetapi soal keselamatan umat manusia.
Semoga saja, proses vaksinasi menggunakan vaksin Sinovac merupakan keputusan yang benar di negara ini dan masyarakat dapat saling bertukar pikiran dengan bersama-sama berupaya menangani kasus Covid-19 di Indonesia.
Serta, ingat pesan ibu 3M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak) sebagai hal yang tidak boleh luput dalam kehidupan normal baru ini.(rhp)