Minal Aidin Walfaidzin, Mohon Maaf Lahir & Bathin

bLOG Waktu
BoltimDaerah

Dua Anggota DPRD Boltim Blak-blakan Soal Usulan 93 Titik WPR, Medy Ungkap Hal Ini, Reevy Sebut Bisa Saja Tidak Disetujui Semua

Harapan besar warga Bolaang Mongondow Timur (Boltim) untuk mengelola tambang secara legal semakin terbuka lebar. Pemerintah Kabupaten Boltim belum lama ini telah mengajukan 93 titik Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) ke Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).

Langkah ini menjadi bukti nyata perhatian serius pemerintah kabupaten terhadap suara warga yang menggantungkan hidup dari tambang. Tujuannya agar warga bisa menikmati hasil sumber daya alam tanpa harus dibayangi ketakutan akan status ilegal.

Advertisement

Usulan ini pun disambut dengan hangat oleh para wakil rakyat. Salah satunya ialah Wakil Ketua II DPRD Boltim dari PDI Perjuangan, Medy Lensung, yang juga ikut memperjuangkannya. Ia menyebut langkah itu sebagai kemajuan nyata yang menyentuh langsung kebutuhan “wong cilik”.

“Boltim telah mengusulkan ke pusat melalui gubernur, totalnya ada 93 titik ya. Tentu kami berharap di 93 ini kalau bisa diakomodir,” ujar Medy saat ditemui di ruang kerjanya beberapa hari lalu.

Menurut Medy, proses pengesahan tambang rakyat bukan perkara mudah. Ada tahapan administrasi yang harus ditempuh, mulai dari pemerintah kabupaten, berlanjut ke gubernur, lalu ke Kementerian ESDM.

Advertisement

“Gubernur yang menerima usulan, kemudian gubernur yang melanjutkan ke Kementerian ESDM. ESDM yang akan mengeluarkan rekomendasi,” jelasnya.

Medy juga mengingatkan bahwa tidak semua titik usulan otomatis mendapat persetujuan. Salah satu syaratnya, lokasi tambang rakyat tidak boleh berada di atas wilayah yang sudah memiliki izin tambang.

“Tapi syarat-syaratnya cukup tegas juga, tidak boleh tumpang tindih di lokasi yang sudah ada IUP misalnya, atau IUPK atau WPN,” kata Medy.

Politisi PDI Perjuganan ini mencontohkan beberapa wilayah yang telah dikuasai oleh perusahaan besar seperti JRBM dan PT ASA. Bila titik usulan berada di area mereka, proses perizinannya akan jauh lebih rumit.

Advertisement

“Misalnya, IUP yang di sini JRBM punya, PT ASA kan, PT ASA baru BTPR misalnya, itu yang a izin yang masih berlaku,” tambah Medy.

Meski begitu, Medy mengatakan masih ada celah hukum, yaitu melalui mekanisme yang disebut “penciutan”. Pemerintah daerah bisa menyurati pemegang IUP agar melepaskan sebagian wilayahnya, sehingga bisa dialihkan menjadi WPR. Usulan ini dapat diajukan bersamaan dengan permohonan ke gubernur.

“Tahapannya itu ya penciutan. Jadi, pemerintah daerah menyurat juga ke perusahaan, ke pemegang IUP ini dibarengi bersamaan juga dengan usulan pemerintah kabupaten melalui gubernur,” jelasnya.

Namun, Medy mengatakan bahwa meyakinkan perusahaan untuk melepaskan lahannya bukan perkara mudah. Banyak dari mereka memiliki dukungan kuat dan enggan berbagi wilayah.

“Nah kalau ada tumpang tindih dengan IUP lain, memang, ya pengalaman kami agak repot ya karena ya namanya perusahaan tambang ini back-upnya keras-keras ya to. Mereka juga tidak mau mengeluarkan lahan mereka,” ungkapnya.

Walau tantangannya besar, Medy tetap optimistis. Ia yakin sebagian besar dari 93 titik bisa disetujui, terlebih Gubernur Sulut Yulius Selvanus memang menaruh perhatian khusus pada kepentingan rakyat.

Advertisement

“Kami berharap ya maksimal lah untuk bisa di acc, karena itu juga permintaan Pak Gubernur. Alasannya, Pak Gubernur, a selalu konsen dengan kepentingan rakyat,” ucapnya.

Medy menambahkan, Gubernur Yulius dikenal vokal memperjuangkan hak rakyat atas sumber daya alam. Namun, menurutnya, pengelolaannya tetap harus dilakukan secara tertib dan teratur.

“Beliau selalu, dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa apa yang menjadi hak-hak rakyat terhadap pengelolaan sumber daya alam itu, skala prioritas. Tapi, tentunya harus diatur, tidak boleh sembarangan, begitu,” katanya.

Medy juga menjelaskan perbedaan antara proses pengajuan WPR dan IUP. WPR, kata dia, menjadi wewenang gubernur, sementara IUP langsung ditangani oleh Kementerian ESDM.

“Kalau IUP itu kewenangan ESDM langsung. Tapi kalau WPR, itu kewenangan gubernur. Gubernur menerima surat permohonan dari kabupaten, kemudian dia memilah tentunya lewat timnya, yang mana yang layak untuk diusulkan ke kementerian juga,” terang Medy.

Saat ditanya apakah semua titik bisa diterima, Medy tak mau berspekulasi. Namun, ia meyakini bahwa jika hasil kajian menyatakan layak dan tidak ada tumpang tindih, maka kemungkinan disetujui tetap terbuka.

“Bisa saja, kita (Boltim) mengusulkan 93, Pak Gubernur dan timnya melihat kondisi yang ada di daerah, ya dia melakukan kajian teknis, bisa saja disetujui semua,” katanya.

Sementara itu, anggota DPRD Boltim lainnya, Reevy Raymond Lengkong, juga menanggapi usulan ini. Ia mengatakan bahwa segalanya bergantung pada hasil kajian teknis di lapangan.

“Bisa saja tidak disetujui semua. Jadi, bisa saja disetujui semua, bisa saja, iya,” kata Reevy saat berbincang di ruangan Medy.

Politisi Partai Gerindra itu juga menambahkan, proses seleksi bisa saja menyaring beberapa lokasi karena berbagai alasan teknis. Tapi bukan berarti tidak ada peluang untuk disetujui semuanya.

“Jadi, begitu. Maksudnya, ada yang disetujui, dari berapa puluh, disetujui misalnya 80, to, artinya sekitar 13 tidak disetujui, to,” lanjut Reevy.

Namun, seperti halnya Medy, Reevy juga berharap semua titik yang diajukan bisa diterima. Tentunya dengan syarat bahwa usulan tidak berbenturan dengan aturan yang telah ada.

“A, tidak semua itu tidak disetujui. Misalnya, yang disetujui cuma 80 dari 93. Ada juga bisa disetujui semua. Sesuai kajian semua. Kalau dia memenuhi syarat untuk itu, ya, apa, tetap disetujui semua itu. Kalau kami berharap semua disetujui,” pungkas Reevy. (aah)

Advertisement

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button