Politik Musiman
Oleh: Gugun Pohontu
Politik, barangkali, merupakan kosakata yang populer sekaligus tak dimengerti oleh sebagian masyarakat Bolaang Mongondow Utara. Bila diandaikan sebagai tempat, maka politik menjadi kawasan yang begitu terlarang. Sebab, tidak sedikit orang yang kecewa setelah memasukinya. Seolah-olah, politik adalah tempat bagi orang-orang berkapasitas khusus: beruang, terdidik, dan pandai berbicara manis. Sedangkan bagi mereka yang tak memenuhi kriteria khusus itu, politik hanyalah arena pertarungan di mana mereka hanya berdiri di luar pagar sebagai penonton. Tak lebih.
Setuju atau tidak, ketika saya berbicara tentang politik dengan kebanyakan orang, saya hanya menangkap makna politik dalam kerangka ‘pengertian’ buruk itu di dalam tata bahasa mereka. Memang, pengertian itu amatlah keliru dan sempit, tak sesuai dengan apa yang kita baca dalam teori. Namun, tidak elok bila kita hanya terfokus pada fenomena makna politik yang terdistorsi itu dan secara diam-diam menyayangkan–kalau tidak mau dikatakan menyalahkan–pemikiran masyarakat tentang politik yang seperti itu.
Yang perlu kita telaah adalah, mengapa pemikiran masyarakat tentang politik bisa mengalami distorsi? Kita pun jarang bertanya, kenapa setelah tiga kali Pilkada dan Pileg, masyarakat (Bolmut) masih mengartikan politik dengan makna yang peyoratif (buruk)? Jawaban singkat dan sementara yang bisa diketengahkan untuk menjawab dua pertanyaan itu: bahwa pendidikan politik tidak jalan. Dengan kata lain, tidak ada pendidikan politik. Sebab, kalau ada pendidikan politik, empat belas tahun adalah waktu yang cukup untuk mengedukasi dan memperbaiki cara pandang masyarakat tentang politik. Namun, sejauh yang saya temui semuanya nampak nihil.
Bagaimana ada pendidikan politik bila politik itu sendiri bersifat musiman. Saya teringat dengan ucapan salah satu senior saya. Menurutnya, di Indonesia itu bukan hanya ada musim buah atau musim Piala Dunia, tapi juga musim politik–yang membuat politik menjadi temporal, bersifat musiman. Jenis politik ini akan saya namai, “politik musiman”. Mendengar hal itu saya seketika tertawa terbahak-bahak. Itu amat lucu sekaligus miris. Yang bikin miris, di Bolmut hal yang demikian juga berlaku.
Politik musiman itu berlaku lima tahun sekali, yaitu ketika “pesta demokrasi” atau akrab disapa pemilu tiba. Di wilayah perkotaan yang rada-rada metropolitan misalnya, Gorontalo, ketika musim politik tiba–kata senior saya–salah satu tandanya akan muncul apa yang sering disebut sebagai “Rumah Aspirasi”, biasanya bertempat di warkop-warkop. Yang dimaksud dengan rumah aspirasi itu tidak lain adalah tempat mengorganisir masa pemilih, meskipun sering dibaluti dengan dalih bahwa itu adalah tempat untuk membicarakan gagasan masa depan.
Di Bolmut, fenomena “Rumah Aspirasi” itu belum terlalu marak. Yang lumrah dilakukan antara lain: membangun pos-pos pemenangan di setiap desa–yang fungsinya kira-kira sama dengan rumah aspirasi ala perkotaan itu; sisanya, kerja calon dan tim pemenangan yang keliling-keliling tempat dengan tujuan, katanya, untuk silaturahmi, menyerap aspirasi, mensosialisasikan diri alih-alih ide, serta membangun citra dan menggalang dukungan. Biasanya, yang dua terakhir itu yang merupakan kebenaran, selain dari itu hanyalah pemanis belaka.
Deretan fenomena itu khas di musim politik. Pada musim ini pula politik memiliki jangkauan yang seharusnya: sampai ke lapisan masyarakat paling bawah dan terpinggirkan–yang selama ini merintih di bawah gorong-gorong peradaban dan jarang ditengok.
Partai politik tampil dengan wajahnya yang paling merakyat, seolah-olah partai-partai itu adalah dari, untuk, dan oleh rakyat. Visi misi dibentangkan bagai janji Tuhan tentang surga, sedangkan para politisi seketika menjelma Nabi yang akan membela mereka tertindas, memerangi kezaliman, dan siap menuntun manusia di jalan yang benar. Namun, ini terjadi hanya pada saat musim politik; ini hanyalah pencitraan untuk mengejar elektabilitas supaya bisa menang dalam kompetisi kekuasaan. Tak lebih, sayang.
Setelah musim ini selesai, semuanya kembali semula. Rakyat kembali senyap, sibuk dengan urusan masing-masing dan jauh dari percakapan politik. Kalaupun mereka bicara politik, suara mereka tak bisa didengar, jauh dan tertutup kabut kekuasaan dan kebodohan. Mereka tak lagi dikunjungi namun diam-diam merindukan mereka yang dulu berjanji namun tak kunjung ditepati.
Sialnya, mereka yang menang dan berkuasa diam-diam juga lupa. Semua janji suci dan citra kenabian yang ditonjolkan di awal, musnah akibat kecanduan akan kesenangan kekuasaan. Bukan hanya lupa janji, tapi juga lupa diri. Sedang rakyat, diam-diam, dibiarkan Kembali tenggelam dan terasing dari politik.
Rupanya, kenyataan pahit inilah yang membentuk pemahaman sempit masyarakat tentang politik. Bahkan, istilah politik yang dalam teori dianggap ‘suci’, diplesetkan oleh masyarakat Bolangitang, Bolmut, menjadi “polotiko” yang berarti penipu, licik, pengadu domba, hingga muka dua alias munafik. Dan kosakata itu, menjadi bagian dari tata bahasa daerah masyarakat setempat. Lihat betapa buruknya makna politik dalam benak masyarakat.
Ini menegaskan bahwa tidak ada edukasi politik. Keteladanan yang palsu dan watak “polotiko” para politisi itulah yang menjadi dasar bagi rakyat untuk memandang politik sebagai sesuatu yang ‘terlarang’; seolah-seolah politik hanyalah miliki mereka yang “polotiko”.
Politik musiman juga merupakan cerminan bahwa apa yang kita sebut politik, mandek dan hanya beroperasi dalam “lingkaran sempit” elite. Rakyat seakan tak punya akses terhadapnya. Seolah-olah, hanya pada musim politik saja rakyat perlu dimasukkan dalam konstelasi. Setelah itu, disingkirkan pelan-pelan hingga terhempas jauh keluar. Padahal, sudah seharusnya dinamika politik mempunyai jangkauan luas dengan intensitas yang sama, setiap saat, seperti pada saat pemilu.
Seluruh elemen masyarakat–dalam semua jenis diskursus dan kebijakan–harus dilibatkan secara aktif hingga menyentuh mereka yang ada di pelosok, yaitu mereka yang mengalami ketimpangan infrastruktur, ekonomi, dan demokrasi. Singkatnya, keran politik harus dibuka setiap saat, selebar-lebarnya. Politik tidak boleh bersifat musiman; bukan hanya milik segelintir orang; melainkan milik mereka yang berhak, yaitu mereka yang setiap tindak tunduknya dipengaruhi oleh politik, yang tidak lain adalah rakyat. Seutuhnya, seluruhnya.