Abaikan 11 Poin Tuntutan Malintang, PT ASA Kembali Disorot
Tutuyan – Perseroan Terbatas (PT) Arafura Surya Alam (ASA), tampaknya telah mengabaikan tuntutan Aliansi Masyarakat Lingkaran Tambang (Malintang) pada Rapat Dengar Pendapat di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Mongondow Timur.
Padahal, berdasarkan hasil RDP yang tertuang dalam tuntutan Aliansi Malintang pada Selasa (30/3/2021) empat bulan lalu, PT ASA jelas-jelas mengetahui poin permintaan dari para Malintang. Namun, hingga saat ini, rapat yang digelar membahas kepentingan rakyat dan masa depan lingkungan di wilayah Kotabunan, seolah tak dihitung PT ASA sebagai sesuatu yang penting untuk ditindaklanjuti.
Menurut, Hendi Potabuga, dari sebelas poin yang antara lain mengenai kompensasi pembebasan lahan dan prioritas pekerja lokal di sembilan desa lingkar tambang itu, tak satu pun dipenuhi oleh anak perusahaan dari J Resources Asia Pasifik Tbk ini.
“Dan pada kenyataannya justru berada. Perusahaan malah diam-diam menegosiasikan pembebasan lahan dengan harga yang beragam per meternya. Padahal, keuntungan yang akan mereka dapatkan, justru berpuluh kali lipat dari harga lahan,” kata Hendi, Selasa (3/8/2021).
Lebih lanjut dia mengungkapkan, PT ASA juga telah mengsubkontraktor urusan penyediaan tenaga kerja kepada salah satu perusahan outsourcing asal Manado. Hal itu hanya akan memboyong lebih banyak tenaga kerja dari luar daerah, ketimbang mengutamakan putra dan putri khususnya di sembilan desa lingkar tambang.
“Kami minta pihak PT. ASA jangan mengabaikan poin tuntutan dari Malintang. Prioritaskan tenaga kerja lokal di sembilan desa yang masuk wilayah lingkar tambang,” pinta Hendi.
Hal senada juga dikatakan oleh Direktur Intelijen Dewan Pimpinan Nasional Lembaga Anti Korupsi Republik Indonesia (LAKRI) Andi J Riyadhi. Ia menyayangkan pihak perusahan belum menjelaskan kedudukan dan posisi izin PT ASA di wilayah panang, sehingga masyarakat pun tidak pernah tahu sejauh mana kelengkapan administrasi perusahaan, termasuk juga hasil revisi dokumen analisis dampak lingkungan.
“Padahal dalam pembahasan dokumen Amdal, perusahan wajib melibatkan masyarakat, LSM, Pers dan lain-lain,” kata Andi J Riyadhi.
Masyarakat diwilayah lingkar tambang lanjut Andi, berhak mengetahui bagaimana model eksploitasi perusahaan. Mulai dari cara produksinya, apakah menggunakan sistem open pit atau smelter, sampai dengan pembuangan tailing. Semua itu semestinya dipublikasikan kepada masyarakat lingkar tambang, agar semuanya jelas dan tidak akan menimbulkan polemik di kemudian hari.
“Semua harus dijelaskan, baik sisi positif maupun negatifnya. Makanya, harus disosialisasikan, karena amdal merupakan dokumen lingkungan yang menjadi panduan dalam pengelolaan berdasarkan kaidah-kaidah pertambangan,” jelas Andi.
Belum lagi mengenai penggunaan jalan negara oleh PT ASA secara gratis, tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility – CSR) dan perekrutan karyawan khusus masyarakat dilingkar tambang, selama ini tidak jelas.
“Apalagi soal nasib masyarakat dusun V Panang, Desa Kotabunan yang akan tersingkir oleh aktivitas PT ASA, juga belum juga ada kejelasannya,” pungkasnya. (aah)