Mitos Incumbent Melahirkan Prahara dan Pembangkangan
Banyak yang menyatakan jika seorang calon incumbent 50% (persen) akan menjadi pemenang dalam pertarungan politik. Mitos ini kini semakin hari semakin hilang ditelan oleh factor kefiguran seorang bakal calon. Lihat saja Pemilihan Gubernur (Pilgub) yang ada di Jakarta, dimana seorang Joko Widodo yang lebih kental dikenal dengan sosok Jokowi mampu ‘memasung’ mitos dan menjadi pemenang dengan jumlah selisih suara yang pada awalnya tidak disangka-sangka, sehingga menyebabkan kekalahan telak calon incumbent.
Tidak hanya itu, tengok saja daerah tetangga kita, Provinsi Gorontalo pada Pilgub pun seorang Gusnar Ismail ‘mati kutu’ dan kalah secara telak oleh seorang Bupati Gorontalo Utara Rusli Habibi. Dua contoh ini memupuskan harapan masyarakat atas mitos jika calon incumbent tak menjadi jaminan dalam perebutan kekuasaan. Sosok figur adalah penentu segalanya, incumbent hanyalah kenangan/nostalgia dan paradigma yang akan indah pada waktunya. Demokrasi yang diucapkan oleh seorang calon incumbent hanyalah di bibir mulut santan bergula namun susah untuk diterapkan.
Pemasungan hak-hak demokrasi kepada masyarakat menjadi merajalela dimana-mana, tidak hanya dilakukan oleh calon incumbent tersebut, namun pula pemasungan tersebut secara membabi-buta dan turun-temurun dilakukan oleh anak buahnya sendiri Asal Bapak Senang (ABS). Walaupun berbagai cara yang akan ditempuh oleh incumbent untuk mendapatkan kembali kekuasaan dan kerasukannya akan predikat ‘number uno’, tak mampu mengekang pilihan rakyat terhadap figur seseorang, sebab masyarakat semakin hari bahkan tiap menit pikiran mereka up to date layaknya informasi teknologi dan jejaringan social yang menyajikan dinamika dan pendidikan politik yang telah dibangun selama ini oleh seorang pemimpin (incumbent).
Pemasungan hak-hak demokrasi adalah cara yang dianggap ampuh dilakukan oleh seorang incumbent kepada masyarakatnya, namun mereka tidak sadar jika pemasungan kepada masyarakat terhadap berbagai macam bantuan yang mengatasnamakan calon incumbent, maupun partai pengusung tidak akan berjalan maksimal, belum lagi intimidasi terhadap para bawahannya jelas akan merugikan dalam meraup suar
Konsep ini akan jelas menjadi piramida terbalik dan akan membuat masyarakat semakin membenci kepada para calon incumbent. Apalagi dimata masyarakat seorang calon Incumbent tersebut telah mempunyai catatan buruk dihati masyarakatnya sendiri secara pribadi, dan terlebih lagi dalam pemerintahan sebelumnya tidak mampu membawa masyarakatnya kearah yang lebih baik lagi. Sosok figur tak akan pernah terbantahkan sebagai penentu kemenangan seorang calon Gubernur/Walikota/Bupati. Namun sadar ataupun tidak, banyak calon incumbent yang kembali maju dalam pertarungan politik yang tidak mampu memperhitungkan apakah dirinya masih dilike rakyatnya atau tidak. Sehingga jalan satu-satunya adalah memasung hak-hak demokrasi masyarakat yang notabene dilindungi oleh undang-undang.
Masyarakat diantara prahara dan pemasungan hak yang tidak adil, sehingga pada akhirnya menjadi pembangkang terhadap titah seorang incumbent. Pendidikan politik seperti ini seharusnya tidak dilakonkan oleh wayang jika memang ingin merubah paradigma sebagian masyarakat yang belum tercerdaskan dalam persoalan politik, sebab kemajuan sebuah daerah tidak rizise oleh sejauh mana seorang calon dalam memasung hak demokrasi rakyat sehingga menang, melainkan sejauh mana keikhlasan masyarakat dalam memilih calon pemimpinnya.
Catatan oleh Nanang Kasim.
- Berkunjung ke Raja Ampat, Destinasi Wisata dengan Keindahan Tak Terlupakan
- 7 Fakta Menarik Seputar Manfaat Vitamin C untuk Perawatan Kulit yang Mungkin Belum Anda Ketahui