Minal Aidin Walfaidzin, Mohon Maaf Lahir & Bathin

bLOG Waktu
Opini

Pesta Laba di Atas Krikil & Debu Silika: Potret Kapitalisme Telanjang di Boroko Timur

Advertisement

Saya menulis reaksi ini dengan “yeye” masih berdebu kerikil Pantai Batu Pinagut. Pagi tadi sekitar pukul 5:30 (2 mei 2025), saya kebetulan melintas di areal bongkar‐muat di bibir pantai – sebuah “pelabuhan darurat” tempat tongkang menurunkan material kerikil untuk proyek tahap 2 pembangunan tanggul batu pinagut. Dari sana hingga sepanjang Jalan Menara Boroko Timur, satu pemandangan menghantam logika: batu kerikil berhamburan tanpa ampun, warga berkeringat menyapu, sementara dump truck perusahaan melaju apatis tanpa terpal penutup. Semua terjadi hanya dua bulan setelah ruas jalan itu selesai di-aspal mulus oleh uang rakyat.

Matahari belum sempurna memanjat, tapi Jalan Menara Boroko Timur sudah berderit ibarat papan paku. Kerikil berserakan – jejak “Ambisi berlebih” perusahaan tongkang di Pantai Batu Pinagut.

Advertisement

Perusahaan kerap bersembunyi di balik jargon K4 – Keselamatan, Keamanan, Kesehatan, Keberlanjutan -seakan menjadi tameng reputasi. Namun apa artinya sertifikat emas di dinding kantor bila praktik lapangan bak tambang bebas aturan? Tidak menutup muatan hanyalah “detail kecil” di atas kertas. Di lapangan, detail kecil ini bermakna selip motor, paru-paru menghirup debu silika, bahkan nyawa melayang jika kerikil sebesar kepalan terlempar dari bak truk. K4 bukan hiasan label – ia kontrak moral untuk meniadakan bahaya sebelum bahaya meniadakan kita.

Sangkalan K4
  • Keselamatan: Batu beterbangan bak peluru; pengendara motor bisa terpelanting kapan saja.
  • Keamanan: Jalan umum berubah arena Russian roulette – apakah ban Anda menghantam kerikil atau selamat?
  • Kesehatan: Debu silika menelusup paru-paru anak-anak; efek laten yang tak tertagih di nota keuntungan.
  • Keberlanjutan: Aspal seumur jagung digerus habis; uang pajak rakyat terbakar tanpa upacara.

K4 mereka ibarat baju seragam tanpa tubuh: dipamerkan di lobi, hilang di lapangan. Ini bukan abai – ini sengaja. Saat modal rela mengorbankan nyawa potensial demi margin, kita tak lagi bicara kelalaian, tapi premeditasi ketidakpedulian.

Advertisement

Tak perlu insinyur sipil untuk memahami: lapisan hot-mix yang baru “matang” belum sempat mengikat kuat ketika digerus roda ODOL ditambah gesekan batu lepas. Mikro-retak menjalar; bisa jadi depan rumah warga akan muncul gelombang. Dana miliaran rupiah, diambil dari APBD, terancam lenyap sebelum puas dipakai warga dan menghasilkan PAD. Besok lusa, tanpa menutup kemungkinan Dinas PUPR akan kembali mengajukan anggaran tambal sulam.

Kerikil itu kecil, tapi simbol kelalaian besar. Setiap batu yang jatuh membawa cerita tentang ego korporasi, abainya pengawas, dan diamnya publik. Jika kita biarkan, tak lama lagi yang tersisa hanya jalan berlubang, udara berdebu, dan rasa percaya yang runtuh.

Perusahaan menuai laba per rit kerikil, masyarakat menuai pungutan in-kind: waktu, tenaga, kemarahan – bahkan potensi luka.

Kerikil di jalan hari ini bisa menjadi batu nisan besok. Kita dilarang menunggu tragedi untuk memperoleh keberanian. Kalau regulator beku, publik harus mendidih: foto, laporkan, viralkan. Perusahaan bisa mengganti aspal, tapi tak akan pernah bisa membeli kembali nyawa yang hilang atau menambal reputasi yang robek.

Advertisement

Penulis adalah Ketua Serikat Pers Republik Indonesia Cabang Bolmut.

Advertisement

Redaksi

Berita yang masuk di Email, Whatapps dan Telegram Redaksi akan di Edit terlebih dahulu oleh Tim Editor Media Waktu.news kemudian di publish.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button