Ahmad Alheid, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara (Sulut), mengaku terpesona dengan keindahan alam Desa Kokapoi.
Pengakuan tersebut ia unggah dalam sebuah tulisan singkat di salah satu media sosial pada 15 Maret 2024 setelah dirinya melakukan kunjungan pertamanya ke wilayah tersebut.
Selain soal keindahan, Ahmad Alheid juga menjelaskan sejarah singkat dan kisah penghuni awal Desa Kokapoi. Berikut tulisan Ahmad Alheid.
Kokapoi
Kokapoi adalah desa terpencil di Kecamatan Mooat, Bolaang Mongondow Timur. Beberapa tahun lalu, desa ini dimekarkan menjadi dua desa. Kokapoi dan Kokapoi Timur.
Ini kali pertama aku (Ahmad Alheid) mengunjungi desa yang berpenghuni sekira 400 kepala keluarga (KK) itu. Jalanan cukup mulus dan cuaca cerah membuat perjalanan ke desa terpencil di ketinggian itu berjalan lancar.
Perkampungan ini awalnya adalah hutan belantara yang dirambah menjadi tempat transmigrasi untuk sebagian pengungsi korban konflik horizontal yang terjadi di Maluku Utara.
Menurut penuturan Demianus Ratuilualy, 58 tahun, mereka memasuki pemukiman ini pada November 2001. Tak kurang dari 190 KK penghuni barak pengungsi Rotan di Kota Bitung dimobilisasi ke lokasi transmigrasi ini. “Sekarang tinggal 30 KK yang bertahan,” terang Demianus.
Demianus sendiri adalah orang Maluku yang tinggal di Ternate ketika konflik pecah di Maluku Utara. Demianus dan istrinya mengisahkan bagaimana kehidupan memprihatinkan mereka jalani ketika di awal menghuni Kokapoi. Mereka hanya mengandalkan bantuan kebutuhan dasar yang disediakan pemerintah untuk jangka waktu enam bulan. Akses ke lokasi transmigrasi juga masih sulit, yang harus mereka tempuh dengan berjalan kaki dari wilayah Modoinding.
Di samping pengungsi asal Maluku Utara, pemerintah juga menambahkan transmigran lokal untuk mengisi Kokapoi. Transmigran lokal ini diambil dari enam desa di Kecamatan Modoinding, yakni dari Kekenturan, Linelean, Sinisir, Palelon, Wulurmaatus dan Makaaroyen. Sebanyak 190 KK diambil dari desa-desa tersebut, dan mayoritas dari Desa Kakenturan.
Kokapoi kemudian diresmikan menjadi desa pada 2007. Jan Kumendong diangkat sebagai kepala desa (Sangadi) pertama.
Kehidupan yang sulit di Kokapoi membuat sebagian warganya memilih minggat dari lokasi transmigrasi ini. Kita dengan mudah menemukan rumah tak berpenghuni kala berkunjung ke desa ini. Setidaknya, jarang ditempati secara permanen oleh pemiliknya. Sebagian rumah-rumah itu bahkan tak terurus, dirambati tumbuhan sulur dan dipenuhi rumput liar, serta tinggal menunggu ambruk.
Sangat disayangkan melihat kondisi perkampungan yang sejuk tersebut. Tempat ini, seharusnya, menjadi tempat berlibur yang asri. Saat melaju ke Kokapoi, di sisi kanan, kita akan disuguhi pemandangan Danau Mooat yang indah. Udara pegunungan dengan sebagian hutan yang masih lebat menjadi daya pikat tersendiri saat mengunjungi Kokapoi.
Mungkin, jika ditata dengan baik, Kokapoi bisa menjadi destinasi wisata perkampungan yang menarik. Memanjakan pengunjung dengan hawa alam yang sejuk, suasana desa yang tentram, air sungai yang jernih, dan pemandangan sepanjang jalan yang memikat.
Aku, mungkin, bermimpi terlalu indah tentang Kokapoi di masa depan. Semacam cinta pada pandangan pertama. Tempat subur ini terlalu indah kalau hanya disulap sebagai lahan perkebunan semata.