Setiap tahun, Pemerintah Daerah Bolmut melakukan revisi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), namun tahun ini tampaknya terancam tidak memiliki APBD Perubahan (APBD-P) karena belum disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Batas waktu pengesahan APBD-P, menurut regulasi, adalah tiga bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran, atau tepatnya pada tanggal 30 September. Sekda Dr. Hi. Abdul Nazarudin Maloho, S.Pd., M.Si yang juga sebagai Ketua tim anggaran pemerintah daerah (TAPD), menegaskan bahwa, Jika lewat dari 30 September, APBD-P tidak akan dievaluasi oleh Pemprov Sulut.
Tanpa APBD-P, pemerintahan Kabupaten Bolmut akan melanjutkan dengan APBD murni, yang berarti berbagai program dan kegiatan yang telah direncanakan untuk tahun anggaran 2024 mungkin tidak dapat dilaksanakan sesuai rencana karena keterbatasan penyesuaian anggaran. “Kami terus mengajak semua pihak untuk memperkuat sinergi dan kolaborasi untuk membangun Kabupaten Bolmut yang lebih baik,” ujar Maloho.
Apakah Pimpinan Sementara Memiliki Kewenangan Menetapkan APBD?
Ketua TAPD Dr. Hi. Abdul Nazarudin Maloho, S.Pd., M.Si yang didampingi oleh Kabag Hukum Ivan Gahtan, SH, MH menjelaskan bahwa, Dalam struktur pemerintahan daerah, ada situasi tertentu di mana alat kelengkapan dewan belum terbentuk sepenuhnya, namun kebutuhan untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) termasuk APBD Perubahan (APBD-P) mendesak. Dalam Surat Edaran Mendagri Nomor 100.2.1.3/434/SJ Tahun 2024, khususnya pada pasal 34 huruf a, pimpinan sementara yang ditunjuk oleh undang-undang berwenang memimpin rapat yang di dalamnya termasuk penetapan APBD.
Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah No 12 tahun 2018 melalui pasal 89 menjelaskan bahwa rapat paripurna merupakan keputusan tertinggi di DPRD. Dalam kondisi di mana Anggota Kelengkapan Dewan (AKD) belum terbentuk dan terdapat kebutuhan mendesak untuk membahas APBD-P, pimpinan dewan memiliki kewenangan untuk melakukan rapat paripurna dengan syarat minimal dua pertiga anggota dewan hadir. Rapat tersebut bertujuan untuk membentuk panitia khusus (pansus) untuk membahas APBD-P, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah (lembaran negara RI tahun 2014 nomor 244, tambahan nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan uud no 6 tahun 2023
tentang penerapan peraturan pemerintah pengganti UU nomor 2 tahun 2022 tentang cipta kerja menjadi UU .
Sebagai contoh, di daerah-daerah lain, walaupun fraksi belum terbentuk sepenuhnya, pansus yang bertugas membahas APBD-P sudah terbentuk. Fenomena ini juga terjadi di sembilan kabupaten/kota lainnya.
Mana yang lebih tinggi antara uud dan edaran mendagri? dan bagaimana Konsekuensi hukum?
Mengenai pertanyaan tentang hierarki antara undang-undang dan surat edaran Mendagri, perlu dipahami bahwa PP No. 12 Tahun 2018, yang merupakan turunan dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, mengatur dasar hukum eksekutif dan legislatif dalam pemerintahan daerah. Surat edaran Mendagri, yang juga berlandaskan pada pasal 34 PP No. 12 Tahun 2018 dan UU No. 23 Tahun 2014, berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan yang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi. Telah terdapat preseden pada tahun 2019, di mana surat edaran serupa telah diterapkan di berbagai kabupaten/kota untuk mengatasi situasi serupa terkait penyusunan APBD-P tanpa AKD yang terbentuk, dengan paripurna sebagai keputusan tertinggi untuk membentuk pansus dan tercatat dalam risalah rapat.
Sampai dengan Jumat (25/9), tertulis pada neon box ruang sidang, rapat paripurna rancangan Ranperda APBD-P Bolmut 2024, namun hanya Fraksi Karya Bolmut Maju yang absen dalam sidang paripurna tersebut, meninggalkan pertanyaan mengenai komitmen mereka terhadap proses politik. Ketua fraksi Karya Bolmut Maju juga belum memberikan tanggapan saat dihubungi.
Bobi Masuara, seorang pemerhati sosial dan politik, menyampaikan bahwa sebagai politisi, anggota dewan seharusnya memahami bahwa politik berisi kompromi untuk mencapai solusi yang menguntungkan semua pihak. “Kuncinya adalah politik sehat yang tidak terjebak pada ego sektoral dari partai atau fraksi,” katanya.
Dia juga menekankan pentingnya kehadiran anggota fraksi dalam setiap diskusi politik. “Seharusnya mereka hadir dan menyampaikan pandangan mereka kepada publik, bahkan jika mereka menolak, agar masyarakat dan pemerintah daerah mengerti alasan sebenarnya. Bertarung di panggung politik secara terhormat lebih baik daripada menghindar dan bungkam,” ujarnya, menambahkan bahwa kehadiran mereka esensial karena DPRD memiliki tugas dan wewenang untuk membentuk peraturan daerah bersama Bupati, termasuk membahas dan menyetujui rancangan peraturan daerah tentang APBD.
Fraksi Karya Bolmut Maju yang tidak hadir;
- Fikri Gam (Ketua)
- Andriansah Septian Pakaya (Wakil Ketua)
- Ramlan Tinamonga (Sekretaris)
- Saiful Ambarak (Anggota)
- Mardan Umar (Anggota)
- Ronal Bolota (Anggota)
- Donal Lamunte (Anggota)
- Masdiayani Lantana (Anggota)
- Djoni Patiro (Anggota)
- Sutrisno Van Gobel (Anggota)
- Waduh! Seorang Kades di Boltim Tersangkut Kasus Dugaan Penipuan, Ini Kata Polisi
- Revisi APBD Bolmut 2024: Antisipasi Darwin Muksin atas Perubahan Kebijakan Pusat