Keakar, Benarkah Tipi-Tipiliya Kumonyato
Keakar “Anggapa numa nonga’ taipako, biye lipato momayaru pajako” Ya! Itulah lantunan kalimat sebuah lagu dana-dana yang pernah saya dengar, entah dicopy dari mana lirik lagu ini dan siapa penciptanya saya tidak mempersoalkannya, berangkat dari itu semua materi yang disampaikan lewat lagu itu cukup membuat hati kita (rakyat) tergugah, tidak peduli panas dan hujan mencari rejeki, rakyat tetap ikhlas membayar pajak tepat waktu karena mendengar sindiran lagu satu ini.
Tetapi saya tiba-tiba terkejut dan mati akal ketika begitu membaca media cetak SKH (Radar Manado) edisi 27 November 2013 bahwa ada pemilik hotel yang tidak membayar pajak usahanya, salah satu pemlik hotel itu tidak lain adalah seorang pejabat, birokrat senior, panglima (PNS) Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, (Drs Recky Posumah), belum tahu persis seberapa akurat kebenaran dari berita ini, yang jelas menurut saya ini perbuatan melanggar hukum.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa para pemangku kebijakan (pejabat) sering tidak jujur dalam mengemban amanah dan tanggungjawab, membuat regulasi pada akhinya mereka sendirilah yang justru melanggarnya. Sungguh ironis kalau seorang panglima tertinggi (PNS) ini telah melakukan pembangkangan terhadap negara dengan tidak membayar pajak usahanya (hotel). Hebatnya lagi latah tak bayar pajak itu molor hingga tiga (3) tahun. Naudzu Billah. Timbul penyataan subjetif saya masih mungkinkah kita mempunyai pejabat (SEKDA) semacam ini. Menyimak opini yang yeng terlanjur berkembang itu, membuat saya tertarik untuk mengulasnya lebih lanjut.
**** Kuonimu’ adalah kuonu’ *****
Seperti biasanya, bincang-bincang dikantin Mania (tempat berkumpulnya para wartawan) sambil menikmati secangkir kopi racikan Ci’ Nang membuat suasana lebih hangat menjurus panas. Adalah statement di koran pada tanggal 28 oktober 2013 (Posumah bantah Hotel Keakar tunggak pajak), ya! Mendengar judul berita itu rasanya saya jadi mual-mual dan pingin muntah, betapa tidak bantahan panglima tertinggi (PNS) melalui koran itu (Baca; Radar Manado) malah mengungkapkan bahwa Keakar Hotel bukan atas nama dirinya melainkan milik istrinya (Dra Leyda Pontoh) yang juga notabenenya adalah pegawai negeri sipil (PNS). Mengherankan, bantahan melalui media masa tersebut semakin menunjukkan sikap cari aman dan cuci tangan yang sedang dipertontonkan oleh birokrat senior ini.
Sepengetahuan saya bukankah dalam sebuah rumah tangga (kuonimu’ adalah kuonu’ dan kuonu adalah kuinimu?). Artinya, bahwa; apa yang kita miliki adalah milik istri kita pula, begitu sebaliknya. “Lalu apa maksud dari penyataan di koran itu?” Apakah sengaja dihembuskan hanya untuk menutupi opini? Atau apa?, semestinya, itu bukanlah bantahan yang tepat guna menjawab opini yang terlanjur dikonsumsi publik. Bincang-bincang dikantin maniapun tambah makin hot hingga timbul berbagai macam pertanyaan dan dugaan, lantas pajak apa yang kira-kira tidak atau belum dibayarkan, apakah PPN/PPH ataukah apa?. Selidiki punya selidik fantastis, ternyata pajak yang belum dibayar selama 3 tahun adalah Pajak daerah.
Sesuai petunjuk UU nomor 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah, maka pemerintah (Bolmut) menjabarkan UU itu menjadi sebuah Peraturan Daerah (Perda) seperti pajak hotel, rumah makan (RM), galian C dll, dengan retribusi 10% setiap hasil pendapatan usahanya. Maksudnya saya 10% itu adalah total seluruh penerimaan. Logisnya, ketika satu orang nginap dihotel misalnya, maka secara otomatis dia dikenakan pajak 10%. Pajak itu kemudian disetor oleh pemilik usaha ke daerah sebagai retribusi yang harus disetorkan melalui pintu pajak daerah. Lalu berapakah kerugian daerah dari sisi retribusi ini? (Di hitung-hitung aja dari 10% sejak beroprasinya usaha itu sampai tahun ini) dan jawabanya paling tepat dan akurat ada di (DPPKAD) Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. ****
Dipenghujung tulisan singkat ini, saya tidak hendak ingin menggembar-gemborkan opini, mencari-cari kesalahan orang ataupun sok suci dihadapn publik (dunia maya), apa untungnya bagi saya mau menjatuhkan seorang pejabat birokrat senior Keakar melalui sebuah tulisan. Tetapi apa yang dituliskan disini, semata-mata penyataan sederhana yang bisa mungkin ditanggapi secara obyektif.
Sebagai anak negeri tentu kita menginginkan orang-orang “kecil” haruslah diperlakukan sama dengan orang-orang “besar” dihadapan berbagai macam regulasi dan dimata hukum. Jangan hanya rakyat kecil yang selalu digertak, ditakut-takuti dengan sebuah aturan karena tidak membayar pajak, sementara “orang-orang” besar itu yang notabenenya adalah salah satu (mahkluk) pengambil keputusan sering “on the fly” keluar daerah mengikuti (bimtek dll), tapi pada akhinya malah “orang-orang” itulah yang sering melanggar (seperti enggan membayar pajak), apakah dengan melenggang keluar daerah untuk mengejar (SPPD) demi menambah uang saku? Ataukah benar-benar pergi demi kepentingan rakyat dan daerah, hanya TUHAN-Lah yang tau, tetapi TUHAN tidak mungkin ngasih tau. (aag)